Dia di Hari Rabu
Sudah sejak malam tadi aku menunggunya di tempat ini. Tempat pertama kali aku dan dia bertemu. Namun sampai jarum jam yang ada di tanganku menunjukkan pukul 2.30 dini hari pun, dia tak kunjung datang. Dia janji untuk bertemu denganku. Sudah sejak seminggu yang lalu kami merencanakan pertemuan ini.
***
“Sil, bagaimana kalau kita bertemu lagi?” tanyanya.
“Ehm,, kau ini baru saja semalam kita bertemu, sekarang kau sudah minta untuk bertemu lagi.”
“Bukan sekarang Sil. Kalau sekarang, aku sendiri masih sibuk. Pekerjaan di kantorku banyak sekali.”
“Baiklah kalau begitu. Kapan kau mau bertemu lagi denganku?”
“Bagaimana kalau Rabu depan?”
“Kau ini suka sekali ya bertemu di hari Rabu. Beberapa kali kita bertemu, kau selalu saja minta bertemu di hari Rabu. Apa hari yang lain untuk kekasihmu yang lain?”
“Sila, kau ini suka sekali bercanda. Aku tak punya kekasih. Kebetulan saja hari Rabu aku lagi free.”
“hem, baiklah kalau begitu. Rabu depan kita bertemu.”
“Kau sendiri kenapa meng-iyakan untuk bertemu di hari Rabu?”
“Karena untukmu everyday is absolutely free.”
***
Hujan mulai turun. Di sini sudah sepi sejak tiga jam yang lalu, tapi aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Siapa tahu dia akan datang. Aku mulai kedinginan di sini. Menusuk. Aku tidak membawa jaket yang tebal, karena kukira aku tidak akan lama menunggunya. Dia sudah kuhubungi, tapi handphonenya mati. Mungkin low batt.
***
Rabu, malam pertama bertemu dengan dia.
“Permisi, apa ada yang duduk di sini?” Tanya dia.
“Ah seharusnya iya. Aku sedang menunggu temanku.”
“Kalu begitu sama. Aku sedang menunggu temanku juga, tapi bangku di sini sudah terisi semua. Bolehkah aku duduk di sini?”
“Silakan.”
Hening.
“Apa kau sedang menunggu pacarmu?” Tanya kami bersamaan. Kami pun tertawa. Menertawakan kebetulan ini.
“Baiklah, sepertinya kau mau mengatakan sesuatu.”
“Tidak, kau saja dulu.”
“Ladies first.”
“Sudah tak zamannya ladies first. Semuanya sama.”
“Oh ya? Baiklah, kalau begitu aku saja dulu yang bertanya. Apa kau sedang menunggu kekasihmu?”
“Iya.”
“Sudah berapa lama kau menunggunya?”
“Baru dua jam. Don’t laugh me!”
“No, I don’t. tapi, sungguh kau menunggu kekasihmu selama itu? setia sekali kau.”
“Kalau bukan karena sesuatu yang sangat penting sekali aku sendiri tak mau menunggunya selama ini.”
“Kenapa kau tak menghubunginya?”
“Handphonenya tidak aktif.”
“Sepenting itukah?”
“Ya.” Aku diam.”Tunggu dulu, sepertinya dari tadi kau terus yang berbicara.”
“Bukankah sudah kukatakan ladies first? Tapi kau tak mau bertanya apa pun. Ya sudah aku saja yang bicara. Oh iya dari tadi kita mengobrol, tak sekalipun kita menyebutkan nama. Kalau boleh ku tahu siapa namamu?”
“Sila.”
Dia menyebutkan namanya.Sama seperti dirinya yang kutunggu.
“Kalau boleh kutahu, memangnya apa yang mau kau bicarakan dengan kekasihmu itu?”
“kau ini mau tahu saja ya urusan orang.”
Kring…kring… handphoneku berbunyi. Kakak.
“Ada apa Kak?”
“Dia sudah tiada. Dua jam yang lalu.”
Aku terpaku di tempatku. Aku tak kuasa. Tubuhku terasa lemas sekali. Sekejap semuanya kabur dari pandangan. Gelap. Hilang.
***
Aku sudah semakin tak kuat. Aku harus meninggalkan tempat ini. Hujan sudah mulai reda. Tidak ada kendaraan umum dini hari seperti ini. Taksi pun tidak ada yang melintas. Aku harus berjalan kaki. Sedari tadi berulang kali ada mobil yang melintas. Mereka menawarku. Dikiranya aku wanita penghibur. Pekerja seks komersial.
Aku terus berjalan. Ada sebuah mobil ambulans melintas di depanku saat aku menyeberang. Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas kasurku yang empuk. Malam yang melelahkan.
***
“Selamat pagi.” Seorang wanita cantik bertubuh langsing berdiri di depan pintu rumahku.
“Pagi.” Balasku.
“Apa anda yang bernama Sila?” Wanita ini mulai bertanya.
“Ya, saya Sila. Anda siapa?”
Wanita itu menjelaskan siapa dirinya. Dan wanita itu menjelaskan pula maksud kedatangannya ke rumahku ini. Aku langsung terduduk lemas di ambang pintu. Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu. Wanita itu adalah adik dia yang semalam kutunggu, dan dia sudah meninggalkan dunia ini sejak pukul 1.00 dini hari tadi saat dimana aku benar-benar sedang menunggunya di tempat pertama kita bertemu. Dan dia tidak pernah mengucapkan salam perpisahan untuk mengakhiri semua ini.
***
Mengapa harus Rabu?!! Teriakku dalam hati ini.
Orang yang kusayang kenapa selalu pergi tinggalkanku pada hari Rabu?!
Kubuka lagi surat yang diberikan lagi oleh dia melalui adiknya.
Maafkan aku,,,
Bila aku telah menyakitimu
Di hari Rabu
Yang seharusnya tidak lagi menjadi kesedihan bagimu
Maafkan aku,,
Bila aku tak bisa bahagiakanmu..
Maaf,,
Bila aku harus pergi
Tanpa mengatakan sepatah kata pun padamu
Walaupun hanya,”Say good bye.”
Mungkin aku takkan kembali,,
Maafkan aku,,,
Bila telah membuatmu menunggu…
by:
SinTa
Sudah sejak malam tadi aku menunggunya di tempat ini. Tempat pertama kali aku dan dia bertemu. Namun sampai jarum jam yang ada di tanganku menunjukkan pukul 2.30 dini hari pun, dia tak kunjung datang. Dia janji untuk bertemu denganku. Sudah sejak seminggu yang lalu kami merencanakan pertemuan ini.
***
“Sil, bagaimana kalau kita bertemu lagi?” tanyanya.
“Ehm,, kau ini baru saja semalam kita bertemu, sekarang kau sudah minta untuk bertemu lagi.”
“Bukan sekarang Sil. Kalau sekarang, aku sendiri masih sibuk. Pekerjaan di kantorku banyak sekali.”
“Baiklah kalau begitu. Kapan kau mau bertemu lagi denganku?”
“Bagaimana kalau Rabu depan?”
“Kau ini suka sekali ya bertemu di hari Rabu. Beberapa kali kita bertemu, kau selalu saja minta bertemu di hari Rabu. Apa hari yang lain untuk kekasihmu yang lain?”
“Sila, kau ini suka sekali bercanda. Aku tak punya kekasih. Kebetulan saja hari Rabu aku lagi free.”
“hem, baiklah kalau begitu. Rabu depan kita bertemu.”
“Kau sendiri kenapa meng-iyakan untuk bertemu di hari Rabu?”
“Karena untukmu everyday is absolutely free.”
***
Hujan mulai turun. Di sini sudah sepi sejak tiga jam yang lalu, tapi aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Siapa tahu dia akan datang. Aku mulai kedinginan di sini. Menusuk. Aku tidak membawa jaket yang tebal, karena kukira aku tidak akan lama menunggunya. Dia sudah kuhubungi, tapi handphonenya mati. Mungkin low batt.
***
Rabu, malam pertama bertemu dengan dia.
“Permisi, apa ada yang duduk di sini?” Tanya dia.
“Ah seharusnya iya. Aku sedang menunggu temanku.”
“Kalu begitu sama. Aku sedang menunggu temanku juga, tapi bangku di sini sudah terisi semua. Bolehkah aku duduk di sini?”
“Silakan.”
Hening.
“Apa kau sedang menunggu pacarmu?” Tanya kami bersamaan. Kami pun tertawa. Menertawakan kebetulan ini.
“Baiklah, sepertinya kau mau mengatakan sesuatu.”
“Tidak, kau saja dulu.”
“Ladies first.”
“Sudah tak zamannya ladies first. Semuanya sama.”
“Oh ya? Baiklah, kalau begitu aku saja dulu yang bertanya. Apa kau sedang menunggu kekasihmu?”
“Iya.”
“Sudah berapa lama kau menunggunya?”
“Baru dua jam. Don’t laugh me!”
“No, I don’t. tapi, sungguh kau menunggu kekasihmu selama itu? setia sekali kau.”
“Kalau bukan karena sesuatu yang sangat penting sekali aku sendiri tak mau menunggunya selama ini.”
“Kenapa kau tak menghubunginya?”
“Handphonenya tidak aktif.”
“Sepenting itukah?”
“Ya.” Aku diam.”Tunggu dulu, sepertinya dari tadi kau terus yang berbicara.”
“Bukankah sudah kukatakan ladies first? Tapi kau tak mau bertanya apa pun. Ya sudah aku saja yang bicara. Oh iya dari tadi kita mengobrol, tak sekalipun kita menyebutkan nama. Kalau boleh ku tahu siapa namamu?”
“Sila.”
Dia menyebutkan namanya.Sama seperti dirinya yang kutunggu.
“Kalau boleh kutahu, memangnya apa yang mau kau bicarakan dengan kekasihmu itu?”
“kau ini mau tahu saja ya urusan orang.”
Kring…kring… handphoneku berbunyi. Kakak.
“Ada apa Kak?”
“Dia sudah tiada. Dua jam yang lalu.”
Aku terpaku di tempatku. Aku tak kuasa. Tubuhku terasa lemas sekali. Sekejap semuanya kabur dari pandangan. Gelap. Hilang.
***
Aku sudah semakin tak kuat. Aku harus meninggalkan tempat ini. Hujan sudah mulai reda. Tidak ada kendaraan umum dini hari seperti ini. Taksi pun tidak ada yang melintas. Aku harus berjalan kaki. Sedari tadi berulang kali ada mobil yang melintas. Mereka menawarku. Dikiranya aku wanita penghibur. Pekerja seks komersial.
Aku terus berjalan. Ada sebuah mobil ambulans melintas di depanku saat aku menyeberang. Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Aku merebahkan tubuhku di atas kasurku yang empuk. Malam yang melelahkan.
***
“Selamat pagi.” Seorang wanita cantik bertubuh langsing berdiri di depan pintu rumahku.
“Pagi.” Balasku.
“Apa anda yang bernama Sila?” Wanita ini mulai bertanya.
“Ya, saya Sila. Anda siapa?”
Wanita itu menjelaskan siapa dirinya. Dan wanita itu menjelaskan pula maksud kedatangannya ke rumahku ini. Aku langsung terduduk lemas di ambang pintu. Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu. Wanita itu adalah adik dia yang semalam kutunggu, dan dia sudah meninggalkan dunia ini sejak pukul 1.00 dini hari tadi saat dimana aku benar-benar sedang menunggunya di tempat pertama kita bertemu. Dan dia tidak pernah mengucapkan salam perpisahan untuk mengakhiri semua ini.
***
Mengapa harus Rabu?!! Teriakku dalam hati ini.
Orang yang kusayang kenapa selalu pergi tinggalkanku pada hari Rabu?!
Kubuka lagi surat yang diberikan lagi oleh dia melalui adiknya.
Maafkan aku,,,
Bila aku telah menyakitimu
Di hari Rabu
Yang seharusnya tidak lagi menjadi kesedihan bagimu
Maafkan aku,,
Bila aku tak bisa bahagiakanmu..
Maaf,,
Bila aku harus pergi
Tanpa mengatakan sepatah kata pun padamu
Walaupun hanya,”Say good bye.”
Mungkin aku takkan kembali,,
Maafkan aku,,,
Bila telah membuatmu menunggu…
by:
SinTa
Komentar
Cerita2mu lebih cocok dikirim ke majalah kayak Kartini, Femina dll. Lebih dewasa mak, ga kayak cerita2Q hoho
Keep on writing !
wah2 boleh tuh kalo dikirim ke majalah2 begitu juga gak pa-pa,, emang gimna cara ngirimnya? via email apa post??