Alhamdulillah…
Begitu banyak salah dan khilaf yang telah saya lakukan
Di hari yang fitri nan indah ini
Sudilah mereka yang telah saya sakiti,
Mau memaafkan segala khilaf dan kesalahan saya
Layaknya air yang jernih
Bolehlah saya menjadi jernih kembali
Taqoballahu mina wa minkum
Taqobal ya karim
Minal Aidzin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
-Sholat Ied-
Karena dari hari kemarin saya berada di Bojonegoro, jadi sangat dimungkinkan bahwa saya ikut sholat Ied berjamaah di sana. Saya mengikuti sholat Ied di jantung kota Bojonegoro alias di alun-alun kota depan kantor bapak. Berangkat dari rumah pukul setengah enam pagi dan berjalan kaki menuju alun-alun. Cukup khawatir juga kalau-kalau di tengah perjalanan menuju alun-alun, tiba-tiba ada sekumpulan gas keluar. Broot,,, uh,, bagaimana saya mau mensucikan diri lagi. Tapi untunglah tidak terjadi. Saya selamat sampai di tempat tujuan. Dan mendapat tempat sebelah barat alun-alun, dekat dengan Masjid Agung Bojonegoro.
-Orang Penting Dapat Tempat di Depan-
Pasti tahu kan siapa petinggi pemerintahan di tingkat kabupaten? Tentu bupati donk. Ya iyalah. Hehehe. Jadi begini, sekitar pukul 05.55 WIB mungkin ya – saya sendiri tidak tahu pasti jam berapa karena saya sendiri tidak membawa jam – , dengan beberapa ajudan yang mengikuti dibelakangnya dan dilanjutkan oleh Ibu Bupati dan beberapa rombongan Nyonya-nyonya pejabat. Mereka berjalan tergesa-gesa. Sangat tergesa-gesa menuju ke shaf paling depan dan sudah pasti telah disediakan tempat exclusive, maksudnya adalah shaf terdepan. Saya heran, kenapa ya orang Indonesia – khususnya orang-orang yang dianggap penting selalu saja diistimewakan – tidak bisa seperti Prseiden Iran yang saat ini sedang menjabat yaitu Presiden Mahmoud Ahmaddinejad. Beliau sangat sederhana sekali. Saya mencontohkan saja saat sholat berjamaah seperti ini. Saya yakin beliau pasti akan menempatkan dirinya di barisan atau di shaf yang masih kosong walaupun itu di barisan paling belakang karena beliau datang terlambat atau datang belakangan, tidak seperti orang-orang penting di sini yang selalu saja ditempatkan di barisan paling depan di belakang Imam, padahal mereka datang belakangan. Bukankah itu bisa mengganggu jamaah lain yang sudah rapi menempati barisannya? Saya jadi iri sendiri dengan kesederhanaan Presiden Iran tersebut. Ini saya lampirkan foto beliau – saya mendapatnya dari milist di e-mail saya – . sebenarnya masih ada beberapa foto lagi, namun sementara hanya ini saja yang saya lampirkan, karena saya baru melihat contoh yang seperti ini. Baiklah bisa jadi pembelajaran sajalah hal ini.
-Khotbah Sholat Ied-
Beda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya memang karena ini kali pertama saya sholat ied di Bojonegoro tentu dengan suasana masyarakat yang berbeda pula. Jadi begini, biasanya di tempat tinggal saya, ketika sholat telah usai dan khotbah dimulai, semua jamaah masih duduk manis di sana. Walaupun tidak semuanya mendengarkan khotbah, tetapi paling tidak mereka masih stay di sana. Dan akan bubar saat khotbah usai dan akan saling bersalaman. Berbeda sekali dengan di sini, begitu sang khotib naik ke mimbar dan mengucapkan salam, seketika para jemaah berdiri dan sebagian dari mereka meninggalkan tempat. Saya sangat terkejut dengan pemandangan ini seolah-olah khotib tersebut hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Sebenarnya isi materi khotbah tersebut cukup bagus tetapi mungkin memang sudah kebiasaan dari orang-orang tersebut yang langsung meninggalkan tempat. Benar-benar berbeda sekali dengan masyarakat yang terdapat di tempat tinggal saya.
-Nyuwun Pangapunten Sedaya Kalepatan-
Seperti biasa yang kami lakukan setelah sholat Ied adalah sungkem. Kegiatan saling bersalaman, saling meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Sungkem ini biasa kami lakukan berurutan. Pertama, bapak duduk di kursi, kemudian mama salim ke bapak dan cium pipi kanan pipi kiri dan duduk di sebelah bapak. Dilanjutkan oleh Mas saya – melakukan hal yang sama – kemudian giliran saya dan terakhir adik saya. Mas saya yang pertama tidak mengikuti ritual ini karena sudah terlebih dahulu pergi ke Pacitan. Saya merasa, bahwa saya tidak bisa terlalu serius ketika melakukan ritual ini karena rasanya canggung sekali walaupun itu biasa dilakukan. Saya tidak bisa seperti mama. Mama saya ketika sungkem kepada orang tuanya selalu saja sampai meneteskan air mata dan begitu terasa sekali suasana haru. Sebenarnya saya juga ingin menangis, tetapi rasanya tertahan, malah yang ada ingin ketawa dan malah jadi bercandaan ketika sungkem.
-Terkadang Tidak Tepat pada Tempatnya-
Setelah melakukan kegiatan pribadi, kami sekeluarga langsung meluncur ke rumah bos-nya bapak. Petinggi aparat yang memilikki motto ‘melayani dan melindungi’ itu. Tampak beberapa rekan bapak bersama dengan keluarganya telah hadir di sana. Menurut saya mereka tampak begitu glamour. Ibu-ibu dari istri teman-teman bapak semuanya berdandan. Ada sekelompok ibu-ibu yang mungkin umurnya sudah seumuran Mama agak muda sedikit lah, yah pokoknya sudah berkepala empat-lah, mereka berpenampilan layaknya anak muda. Maksudnya, mereka berdandan dengan dandanan yang agak menyolok dan saya rasa itu aneh. Aneh sekali. Seperti Ibu-ibu yang selalu mencoba tampil seperti mbak-mbak berumur dua puluh tahunan sampai-sampai tidak bisa dibedakan dengan anaknya, jadi berpikir, ini kakaknya atau ibu-nya? Dan kebetulan ada seseorang yang sedang berulang tahun, kalau tidak salah wakil kepala resort setempat. Dan ibu-ibu itu dengan semangat mudanya menyanyikan lagu yang bertema ulang tahun. Persis seperti anak muda umur 17-an yang merayakan ulang tahun temannya dengan begitu centilnya. Acara ini sebenarnya kan acara halal bi halal, tetapi ada satu yang buat saya aneh, lagu-lagu yang dinyanyikan agak tidak tepat. Lagu-lagu yang dinyanyikan kan seharusnya seperti lagu-lagu religi, tetapi ini tidak, malah lagu-lagu pop yang lagu in saat ini. Saya jadi bingung, saya ini jangan-jangan salah tempat. Mungkin ini bukan rumah bos-nya bapak yang ada acara halal bi halal-nya, atau mungkin jangan-jangan ini acara kondangan lagi. Tetapi saya tetap mencoba menikmati saja apalagi makanan yang disajikan juga tidak begitu mengecewakan.
-Bald Forest-
Setelah menyelesaikan urusan di Bojonegoro, kami langsung meluncur ke Pacitan. Selama perjalanan Bojonegoro-Ngawi, seperti dua tahun yang lalu, tidak banyak berubah, yaitu jalanan rusak dan penggundulan hutan. Miris juga melihatnya. Banyak sekali balok-balok kayu yang sudah siap olah untuk menjadi rotan-rotan dan furniture-furniture ruangan, layaknya meja-kursi dan lain-lain. Kebetulan, secara sengaja, saya mengambil gambar kayu-kayu tersebut, namun agak tidak jelas juga karena saya mengambil gambar ketika mobilnya sedang berjalan dan juga kameranya tidak begitu mendukung. Sepanjang perbukitan itu, maksudnya sepanjang hutan yang gundul itu, sebagian besar masyarakat di sana memilikki mata pencaharian yang sama. Karena banyak sekali kayu-kayu yang terjajar rapi di pelataran rumah mereka, baik itu baru berupa balok kayu maupun kayu yang telah berbentuk meja-kursi. Sebenarnya saya sendiri juga suka dengan furniture yang terbuat dari kayu, tetapi, kalau caranya seperti yang saya lihat itu, menyedihkan juga. Sejauh mata saya memandang belum ada penanaman kembali yang terlihat. Sebenarnya tidak jauh berbeda juga dengan yang ada di sepanjang perbukitan Pacitan. Cukup banyak tanah gundul. Dan mungkin factornya juga tidak begitu jauh, yaitu penebangan pohon secara liar, walaupun itu milik warga sekitar sendiri, namun belum tampak usaha penanaman kembali tersebut.
Kami tiba di rumah Mbah sekitar pukul 06.00 sore, tepat saat maghrib. Saudara-saudara dari Mama sudah berkumpul semua di sana. Total yang ada di rumah si Mbah yang menginap malam ini adalah 36 orang dengan rincian 6 anak, 6 menantu, 1 keponakan, 1 istri keponakan, 19 cucu, si Mbah uti, si Mbah Kung, si Mbah Buyut. Benar-benar ramai sekali. Saudara-saudara sepupu saya yang masih balita nangis terus, yang masih SD bertengkar terus. Ramai sekali lah pokoknya. Bayangin saja ada pasar pindah ke rumah, kira-kira seperti itu lah.
Begitu banyak salah dan khilaf yang telah saya lakukan
Di hari yang fitri nan indah ini
Sudilah mereka yang telah saya sakiti,
Mau memaafkan segala khilaf dan kesalahan saya
Layaknya air yang jernih
Bolehlah saya menjadi jernih kembali
Taqoballahu mina wa minkum
Taqobal ya karim
Minal Aidzin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
-Sholat Ied-
Karena dari hari kemarin saya berada di Bojonegoro, jadi sangat dimungkinkan bahwa saya ikut sholat Ied berjamaah di sana. Saya mengikuti sholat Ied di jantung kota Bojonegoro alias di alun-alun kota depan kantor bapak. Berangkat dari rumah pukul setengah enam pagi dan berjalan kaki menuju alun-alun. Cukup khawatir juga kalau-kalau di tengah perjalanan menuju alun-alun, tiba-tiba ada sekumpulan gas keluar. Broot,,, uh,, bagaimana saya mau mensucikan diri lagi. Tapi untunglah tidak terjadi. Saya selamat sampai di tempat tujuan. Dan mendapat tempat sebelah barat alun-alun, dekat dengan Masjid Agung Bojonegoro.
-Orang Penting Dapat Tempat di Depan-
Pasti tahu kan siapa petinggi pemerintahan di tingkat kabupaten? Tentu bupati donk. Ya iyalah. Hehehe. Jadi begini, sekitar pukul 05.55 WIB mungkin ya – saya sendiri tidak tahu pasti jam berapa karena saya sendiri tidak membawa jam – , dengan beberapa ajudan yang mengikuti dibelakangnya dan dilanjutkan oleh Ibu Bupati dan beberapa rombongan Nyonya-nyonya pejabat. Mereka berjalan tergesa-gesa. Sangat tergesa-gesa menuju ke shaf paling depan dan sudah pasti telah disediakan tempat exclusive, maksudnya adalah shaf terdepan. Saya heran, kenapa ya orang Indonesia – khususnya orang-orang yang dianggap penting selalu saja diistimewakan – tidak bisa seperti Prseiden Iran yang saat ini sedang menjabat yaitu Presiden Mahmoud Ahmaddinejad. Beliau sangat sederhana sekali. Saya mencontohkan saja saat sholat berjamaah seperti ini. Saya yakin beliau pasti akan menempatkan dirinya di barisan atau di shaf yang masih kosong walaupun itu di barisan paling belakang karena beliau datang terlambat atau datang belakangan, tidak seperti orang-orang penting di sini yang selalu saja ditempatkan di barisan paling depan di belakang Imam, padahal mereka datang belakangan. Bukankah itu bisa mengganggu jamaah lain yang sudah rapi menempati barisannya? Saya jadi iri sendiri dengan kesederhanaan Presiden Iran tersebut. Ini saya lampirkan foto beliau – saya mendapatnya dari milist di e-mail saya – . sebenarnya masih ada beberapa foto lagi, namun sementara hanya ini saja yang saya lampirkan, karena saya baru melihat contoh yang seperti ini. Baiklah bisa jadi pembelajaran sajalah hal ini.
-Khotbah Sholat Ied-
Beda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya memang karena ini kali pertama saya sholat ied di Bojonegoro tentu dengan suasana masyarakat yang berbeda pula. Jadi begini, biasanya di tempat tinggal saya, ketika sholat telah usai dan khotbah dimulai, semua jamaah masih duduk manis di sana. Walaupun tidak semuanya mendengarkan khotbah, tetapi paling tidak mereka masih stay di sana. Dan akan bubar saat khotbah usai dan akan saling bersalaman. Berbeda sekali dengan di sini, begitu sang khotib naik ke mimbar dan mengucapkan salam, seketika para jemaah berdiri dan sebagian dari mereka meninggalkan tempat. Saya sangat terkejut dengan pemandangan ini seolah-olah khotib tersebut hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Sebenarnya isi materi khotbah tersebut cukup bagus tetapi mungkin memang sudah kebiasaan dari orang-orang tersebut yang langsung meninggalkan tempat. Benar-benar berbeda sekali dengan masyarakat yang terdapat di tempat tinggal saya.
-Nyuwun Pangapunten Sedaya Kalepatan-
Seperti biasa yang kami lakukan setelah sholat Ied adalah sungkem. Kegiatan saling bersalaman, saling meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Sungkem ini biasa kami lakukan berurutan. Pertama, bapak duduk di kursi, kemudian mama salim ke bapak dan cium pipi kanan pipi kiri dan duduk di sebelah bapak. Dilanjutkan oleh Mas saya – melakukan hal yang sama – kemudian giliran saya dan terakhir adik saya. Mas saya yang pertama tidak mengikuti ritual ini karena sudah terlebih dahulu pergi ke Pacitan. Saya merasa, bahwa saya tidak bisa terlalu serius ketika melakukan ritual ini karena rasanya canggung sekali walaupun itu biasa dilakukan. Saya tidak bisa seperti mama. Mama saya ketika sungkem kepada orang tuanya selalu saja sampai meneteskan air mata dan begitu terasa sekali suasana haru. Sebenarnya saya juga ingin menangis, tetapi rasanya tertahan, malah yang ada ingin ketawa dan malah jadi bercandaan ketika sungkem.
-Terkadang Tidak Tepat pada Tempatnya-
Setelah melakukan kegiatan pribadi, kami sekeluarga langsung meluncur ke rumah bos-nya bapak. Petinggi aparat yang memilikki motto ‘melayani dan melindungi’ itu. Tampak beberapa rekan bapak bersama dengan keluarganya telah hadir di sana. Menurut saya mereka tampak begitu glamour. Ibu-ibu dari istri teman-teman bapak semuanya berdandan. Ada sekelompok ibu-ibu yang mungkin umurnya sudah seumuran Mama agak muda sedikit lah, yah pokoknya sudah berkepala empat-lah, mereka berpenampilan layaknya anak muda. Maksudnya, mereka berdandan dengan dandanan yang agak menyolok dan saya rasa itu aneh. Aneh sekali. Seperti Ibu-ibu yang selalu mencoba tampil seperti mbak-mbak berumur dua puluh tahunan sampai-sampai tidak bisa dibedakan dengan anaknya, jadi berpikir, ini kakaknya atau ibu-nya? Dan kebetulan ada seseorang yang sedang berulang tahun, kalau tidak salah wakil kepala resort setempat. Dan ibu-ibu itu dengan semangat mudanya menyanyikan lagu yang bertema ulang tahun. Persis seperti anak muda umur 17-an yang merayakan ulang tahun temannya dengan begitu centilnya. Acara ini sebenarnya kan acara halal bi halal, tetapi ada satu yang buat saya aneh, lagu-lagu yang dinyanyikan agak tidak tepat. Lagu-lagu yang dinyanyikan kan seharusnya seperti lagu-lagu religi, tetapi ini tidak, malah lagu-lagu pop yang lagu in saat ini. Saya jadi bingung, saya ini jangan-jangan salah tempat. Mungkin ini bukan rumah bos-nya bapak yang ada acara halal bi halal-nya, atau mungkin jangan-jangan ini acara kondangan lagi. Tetapi saya tetap mencoba menikmati saja apalagi makanan yang disajikan juga tidak begitu mengecewakan.
-Bald Forest-
Setelah menyelesaikan urusan di Bojonegoro, kami langsung meluncur ke Pacitan. Selama perjalanan Bojonegoro-Ngawi, seperti dua tahun yang lalu, tidak banyak berubah, yaitu jalanan rusak dan penggundulan hutan. Miris juga melihatnya. Banyak sekali balok-balok kayu yang sudah siap olah untuk menjadi rotan-rotan dan furniture-furniture ruangan, layaknya meja-kursi dan lain-lain. Kebetulan, secara sengaja, saya mengambil gambar kayu-kayu tersebut, namun agak tidak jelas juga karena saya mengambil gambar ketika mobilnya sedang berjalan dan juga kameranya tidak begitu mendukung. Sepanjang perbukitan itu, maksudnya sepanjang hutan yang gundul itu, sebagian besar masyarakat di sana memilikki mata pencaharian yang sama. Karena banyak sekali kayu-kayu yang terjajar rapi di pelataran rumah mereka, baik itu baru berupa balok kayu maupun kayu yang telah berbentuk meja-kursi. Sebenarnya saya sendiri juga suka dengan furniture yang terbuat dari kayu, tetapi, kalau caranya seperti yang saya lihat itu, menyedihkan juga. Sejauh mata saya memandang belum ada penanaman kembali yang terlihat. Sebenarnya tidak jauh berbeda juga dengan yang ada di sepanjang perbukitan Pacitan. Cukup banyak tanah gundul. Dan mungkin factornya juga tidak begitu jauh, yaitu penebangan pohon secara liar, walaupun itu milik warga sekitar sendiri, namun belum tampak usaha penanaman kembali tersebut.
Kami tiba di rumah Mbah sekitar pukul 06.00 sore, tepat saat maghrib. Saudara-saudara dari Mama sudah berkumpul semua di sana. Total yang ada di rumah si Mbah yang menginap malam ini adalah 36 orang dengan rincian 6 anak, 6 menantu, 1 keponakan, 1 istri keponakan, 19 cucu, si Mbah uti, si Mbah Kung, si Mbah Buyut. Benar-benar ramai sekali. Saudara-saudara sepupu saya yang masih balita nangis terus, yang masih SD bertengkar terus. Ramai sekali lah pokoknya. Bayangin saja ada pasar pindah ke rumah, kira-kira seperti itu lah.
Komentar